Jakarta I Arintanews – Dalam dunia sepakbola Indonesia, sering disertai tindakan kekerasan – baik di lapangan maupun di lapangan sepakbola. Salah satu kasus kekerasan paling mencekam adalah peristiwa Kanjuruhan. Penyelenggara lupa sepakbola merupakan olahraga yang melibatkan manusia sebagai pemain dan penonton.
Berangkat dari sini, Pusat Studi Komunikasi Olahraga Universitas Bung Karno menyelenggarakan seminar ilmiah internasional bertema Pasca Kanjuruhan Qua Vadis Fantatisme Fans Sepakbola Indonesia, Jumat (17/3/2023), di Universitas Bung Karno, Jakarta.
Dengan pembicara Prof. Thomas Horky, Universitas Macromedia, Jerman, Dr. Karen Hartman (Director of International Association for Communication & Sport) dari Universitas Idaho, Amerika Serikat, Ignatius Indro, Ketua Umum Paguyuban Suporter Timnas Indonesia (PSTI), Fanny Riawan, Mantan Deputy Sekjen PSSI, Brain Matthew, Wakil Rektor 2 Universitas 17 Agustus 1945, Dr. Rama Kertamukti, Study Center of Digital Creative Movements Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Dr. Meistra Budiasa, Direktur Pusat Studi Komunikasi Olahraga Universitas Bung Karno.
Meistra Budiasa menjelaskan, sepekbola bukan sekedar olahraga. Tetapi sebagai bisnis menyenangkan, dan menghibur tanpa harus mengorbankan keamananan dan kenyemanan pemain, serta penonton.
“Suporter adalah aset terpenting dalam kegiatan sepakbola. Mereka bukan sebagai pembeli tiket atau merchandise. Mereka hadir sebagai komunitas sepakbola nan harus dihargai,” terangnya.
Fanny Riawan menuturkan, ada yang salah dalam dunia sepakbola Indonesia. Jika tidak dikaji dan ditata ulang, tragedi Kanjuruhan bisa terulang kembali.
“Jika di negara luar, sepakbola sebagai alat penyatu, sementara di Indonesia sepakbola sebagai alat pemecah masyarakat. Ini harus benahi. Ingat sepakbolah bukan sekeder olahraga, sepakbola adalah industri. Kalau investor takut berinvestasi, sepakbola kita bisa mati,” terang Fanny.
Vonis Tragedi Kanjuruhan
Dalam kesempatan yang sama, Ignatius Indro, Ketua PSTI menyampaikan kekecewaan terhadap vonis yang diberikan Pengadilan Tinggi Surabaya terhadap tragedi Kanjuruhan. Karena tidak menunjukan keadilan bagi para korban. “Menunjukan ketidakberpihakan pengadilan terhadap korban, mengabaikan rasa kemanusian,” tegasnya.
Indro berharap ada investigasi lanjutan dan penyelidikan, agar terbuka tabir yang lebih besar. Sebab keputusan pengadilan menyakitkan hati keluarga korban. Indro juga meminta, agar Erick Thohir menjadikan PSSI sebagai ujung tombak penuntasan tragedi Kanjuruhan, meminta diadakan kembali investigasi terhadap tragedi ini, dan membersihkan tubuh PSSI dari orang yang tidak bertanggungjawab.